Mari kita sedikit menengok sebuah skena di kota Bandung dua dekade lalu. Pertengahan 1990-an adalah saat-saat ketika Bandung riuh rendah dengan hadirnya perhelatan musik underground/independent dalam bentuknya yang paling otentik. Saat di mana musik underground kala itu masih merupakan budaya serapan yang belum terlalu bercampur komodifikasi di sana-sini. Embrio itu telah lahir jauh sebelum hadirnya festival perusahaan rokok, menjadi ulasan media massa franchise, hingga kompetisi perusahaan telekomunikasi.
Kala itu Bandung memang telah hingar bingar oleh musik punk, hardcore, death metal, grindcore, dan indie pop. Salah satu bukti paling sahih adalah sebuah venue legendaris bernama GOR Saparua yang hampir setiap minggu menjadi bukti lahirnya sub-kultur baru anak muda Bandung kala itu. Gigs-gigs semacam Punk Rock Party, Gorong-Gorong, Hullaballoo adalah beberapa nama gigs musik legendaris yang hadir di Saparu yang merupakan penanda dari sebuah semangat perayaan anti-konformitas dan anti-kemapanan.
Bandung adalah lanskap yang paling penting untuk membicarakan semua itu. Saat dunia dihebohkan oleh kemunculan sebuah album yang menyentak dunia, Nevermind. Saat di mana sebuah budaya pinggiran, sub-kultur, menyeruak dan lantas menjadi budaya populer yang paling populer, atau yang disebut oleh jurnalis musik Gina Arnold sebagai sebuah “kemenangan” (“we won”). Setelah itu virus bernama Grunge pun menjadi ikon budaya paling penting di tahun 1990-an dan mengubah banyak orang – sampai sekarang.
Di Bandung, virus grunge asal Seattle itu menjadi epidemi, menyebar dan menjangkiti sebuah skena yang embrionya bermuara di sebuah kawasan Jalan Purnawarman. Jalan itu kini dikenal karena hadirnya sebuah mall elektronik terbesar di Kota Kembang. Berhimpitan dan hiruk pikuk sebagai sebuah kawasan mall, toko buku, bimbingan belajar, dan tempat lembaga budaya Perancis. Namun, jauh sebelum semua yang saya sebutkan itu hadir, pada pertengahan tahun 1990-an skena Purnawarman (selanjutnya disebut skena Purna) adalah nama yang paling tepat ketika membicarakan grunge di Bandung. Terutama lewat kompilasi bersejarah Grunge Is Dead yang menjadi napak tilas penting pergerakan musik grunge di Kota Kembang.
Cerita Scene Purnawarman
Sebagai sebuah sub-kultur yang lantas menjadi budaya popular, grunge mewakili entitas yang mencerminkan sebuah sikap terhadap budaya itu sendiri. Sejak awal kemunculannya di Seattle (saya rekomendasikan Anda wajib menonton dokumenter Hype! dan 1991: Punk Year Broke) adalah masa-masa penantian ketika sub-kultur menjadi tidak sama lagi. Setidaknya itu jika kita melihat bahwa grunge adalah anak kesayangan budaya pop terbaru saat fashion jeans dan flannel kucel asli grunge masuk ulasan Vanity Fair dan dipamerkan dalam Fashion Show 7th Avenue di New York. Atau saat anak muda-anak muda di Seattle kala itu melakukan kontra-hegemoni ketika musik-musik glam rock dan Michael Jackson telah menguasai Amerika. Namun, anti-tren yang dikumandangkan grunge lantas menjadi tren itu sendiri. Oh, ironi…
Dan diantara celah semua itu, ketika kata “alternatif” – yang ditulis oleh penulis Bre Redana sebagai Perjalanan Melawan Industri Besar- adalah sebuah kata yang tepat memasuki Indonesia pada periode 1990-an atau boleh dibilang sebagai sebuah semangat zaman ketika semua disiplin diembel-embelkan dengan kata “alternatif” mulai dari musik, sastra, fashion, hingga media. Demam grunge tak lain adalah pengaruh budaya massa yang sudah semakin massif memasuki Indonesia. Saya masih ingat ketika periode 1990-an adalah periode emas MTV saat video klip “Smells Like Teen Spirit” diputar sepanjang waktu dan sebuah proses brainwash yang berhasil membuat sosok anaesthetic Kurt Cobain menjadi sosok idola anak muda era itu.
Masuknya industri rekaman internasional atau major label menjadi salah satu muara rekaman-rekaman grunge bisa didapatkan banyak orang lewat media kaset (nampaknya CD belum begitu populer). Jika pada periode 1960-1970-an, rekaman-rekaman asing hanya bisa dinikmati segelintir orang yang notabene di cap orang kaya, peralihan budaya massa terutama TV dan industri rekaman berpengaruh banyak menjadi penyebar grunge menjadi budaya massa itu sendiri.
Untuk menyelidiki semua ini, saya bertemu dan mewawancarai dengan Ojel, personil band Superabundance dan pegiat musik grunge di Bandung. Semua ini bermula di pertengahan 1990-an ketika semangat anak muda berbaju putih abu diantaranya adalah anak-anak dari SMA PGRI Bandung, SMA 2 Bandung, hingga mahasiswa-mahasiswa Sastra Unpad yang menamakan diri “Budak Tangkal” – Nama tempat tongkrongan di Sastra Unpad, melebur dalam sebuah komunitas yang bertempat di rumah Feri, gitaris dan vokalis Waterbroke, salah seorang pendiri skena Purna ini.
Disatukan oleh satu hasrat dan fanatisme terhadap musik yang sama: Grunge. Dari musik itulah mereka melepaskan diri dari nilai sosial yang oleh kebanyakan dianut, mencoba berbeda dengan keresahan anak muda yang lain. Dari semangat itu skena Purna terbentuk. Semua itu terjalin dari pelbagai komunitas berbeda yang kemudian bermuara di lokasi yang sama yang dibangun atas kecintaannya akan jenis musik yang relatif sama.
Mereka menemukan sebuah pandangan atau mazhab baru. Pandangan pesimistis mereka terhadap realitas yang dijalani dan mencari sosok yang mewakili keresahan mereka pada dunia. Dan semua itu hanyalah tertuju pada rockers urakan dengan pandangan pesimistis, nihilis, dan hidup tak ubahlah sebuah ejekan bagi dirinya sendiri, adalah konotasi-konotasi yang tepat bagi mereka. Maka tak perlu mengernyitkan dahi ketika mereka memilih Nirvana, Sonic Youth, Pearl Jam, Foo Fighters serta seabreg band grunge/alternatif yang memang hype saat itu, sebagai refleksi mereka memandang hidup yang bahkan mereka sendiri masih terlalu dini untuk mengetahui kerasnya hidup.
Band-band yang dibesarkan oleh skena Purna ini diantaranya Waterbroke, Been A Son, Nicfit, Slum, Torek, Cereal Fever, Jekpot, dan Piggish adalah beberapa diantaranya yang turut pula mengisi kompilasi legendaris Grunge Is Dead.
Selain dikenal lewat musik grunge, skena Purna juga dikenal karena anak muda- anak muda yang nongkrong di kawasan ini dikenal sebagai pemadat narkoba yang taat. Mungkin inilah sikap nihilis dan pesimistis yang coba mereka anut. Keapatisan mereka terhadap dunia menggiring komunitas ini lekat dengan benda haram yang satu itu. Mereka menemukan relasi yang sama antara nihilis, pesimistis, asosial, dan apatisme diri mereka sendiri yang termanifestasikan lewat budaya slacker dan musik grunge. Karena menurut Ojel, sebagian anak muda yang nongkrong di Purna adalah korban-korban broken home dan juga mereka menyelami lirik-lirik nihilis dan depresif dari Nirvana. Ada satu relevansi nasib yang sama, kemuakan terhadap dunia, nilai-nilai mapan, tercerabut dari sistem sosial yang termanifestasi lewat lirik-lirik yang ditulis Kurt Cobain. Totalitas dalam menyelami musik dan lirik.
Panasnya suhu politik pada pertengahan pada tahun 1998-1999 juga turut berpengaruh terhadap penyebaran narkoba. Ojel menuturkan bahwa ada kaitan ketika panasnya suhu politik dan penyebab kenapa distribusi narkoba kepada anak muda Purna begitu mudah. Saat situasi politik yang tidak menentu, konsentrasi aparat berwenang lebih fokus pada isu-isu politik yang sedang terjadi (demonstrasi, kerusuhan, kampanye, dll) sehingga demikian banyak bandar dan pemakai narkoba yang bisa bebas mengedarkan dan memakai barang-barang haram tersebut tanpa ada perhatian berlebih dari aparat polisi. Selain itu munculnya produk budaya pop seperti musik grunge dan britpop atau indies membuat drugs culture menjadi pengaruh yang paling kuat di benak anak muda Bandung. Bahkan film pun berpengaruh diantaranya film Trainspotting, sebuah film adaptasi dari novel Irvine Welsh tentang drugs culture di kalangan anak muda Inggris yang pasif, apatis, dan nihilis di pertengahan tahun 1990-an seperti sebuah tontonan wajib pada tahun 1990-an.
Kegemaran terhadap narkoba jenis lexothan, cimeng, ganja, hingga putaw menjadi magnet tersendiri yang menyatukan komunitas Purna ini bahkan telah menjadi energi dan inspirasi tersendiri. Untuk urusan yang satu itu dapat ditemukan dalam “Thanks List” kompilasi Grunge Is Dead yang bertuliskan: “Mas lex luthor dan cimtrexnya (for your energy dan inspiration)”. Tentu saja, “lex luthor” yang dimaksud adalah lexothan dan “cimtrex” nama lain dari cimeng.
Dan diantara hiruk pikuk kecanduan terhadap zat adiktif dan kehidupan nihilis komunitas Purna, salah satu terobosan penting yang menjadi benchmark dari skena Purna adalah terselenggaranya konser berjudul Grungy. Menurut Ojel, sejak Saparua digoncang band-band punk, hardcore, death metal, black metal, kemudian ska, komunitas grunge merasa dimarginalkan oleh panitia-panitia langganan Saparua. Dalam acara “Campur Aduk” memang beberapa band grunge asal Purna seperti Slum, Been A Son, dan Nicfit pernah menikmati gemuruh tampil di Saparua. Para penggelar event-event Saparua—dan juga bazaar-bazaar SMA—tetap memandang band-band grunge tersebut tak layak dipanggil “underground” karena terlanjur mengecap band-band grunge adalah mereka yang kompromi dengan pasar dan major label. Namun di antara semua itu, belum pernah ada gigs yang semua band yang tampil memainkan musik grunge. Ide itu menginspirasi skena Purna untuk membuat sebuah gigs yang benar-benar seluruh penampilnya memainkan musik grunge.
Gigs Grungy berawal dari semangat anak-anak Purna untuk mengeksiskan diri mereka sendiri ke kalangan komunitas musik lain di Bandung. Polanya, sebagian band yang tampil di gigs ini adalah band-band dari komunitas Purna sisanya lagi adalah dari komunitas musik lainnya. Penentuannya mereka mengadakan audisi bagi band dari komunitas lain yang ingin turut tampil di acara Grungy. Dan ternyata banyak demo yang dikirim ke panitia, ada yang masih merekam lagu Nirvana dkk dan ada yang sudah percaya diri merekam lagu sendiri. Audisi dilakukan berdasarkan rekaman-rekaman tape tersebut. Hasilnya: puluhan band dinyatakan layak manggung.
Alhasil, pada 5 Oktober 1997, Grungy menjadi konser bersejarah yang membuktikan bahwa musik grunge eksis dan menjadi pengaruh kuat di anak muda Bandung. GOR Saparua menjadi saksi band-band “grunge”, “alternatif”, “eksperimental” unjuk taring masing-masing. Band-band skena Purna yaitu Slum, Been A Son, Nic Fit, Junkhead, Plump adalah mereka yang ditunggu. Secara garis besar, hampir 90% band yang tampil membawakan lagu-lagu Nirvana. Ada segelintir sekali yang membawakan Pearl Jam, Alice in Chains, Mudhoney, dan Sonic Youth. Beberapa ada yang membawakan lagu mereka sendiri.
Nicfit, misalnya, menjadi band yang mendapat sorotan lewat musik yang terpengaruh besar dari Sonic Youth (Nic Fit adalah salah judul lagu dari Sonic Youth). Ketika kuartet Otoy (bass dan vokal), Ogoy (gitar), Yuyun (gitar) dan Gocap (drum) memainkan lagu “Diamond Sea” milik Sonic Youth, penonton pun memberikan applaus yang sangat meriah. Namun, Otoy malah memarahi mereka yang di bawah panggung yang mengaguminya. Kata vokalis-basis ini, penonton tak usah bertepuk tangan karena, lanjutnya, tak mengerti makna lagu. Otomatis penonton terhenyak.
Ada juga band yang sangat dikenal karena membawakan lagu-lagunya Nirvana. Nama band itu adalah Slum. Bahkan suara Fanny (vokal dan gitar) digadang-gadang teriakan, suara serak, dan lenguhannya mirip sekali dengan Kurt Cobain.
Gigs ini menjadi pemujaan terhadap grunge dan terutama Nirvana. Acara Grungy menjadi wahana para pengagum Kurt Cobain, bukan pemuja Seattle Sounds atau grunge secara keseluruhan. Tak dipungkiri, ketika itu oleh khalayak Bandung, grunge adalah Nirvana! Sebagian besar penonton pun terdiri atas big die hard fans Nirvana.
Kompilasi Grunge Is Dead
Keberhasilan acara Grungy menginspirasi anak-anak skena Purna, terutama Otoy (Nicfit) untuk membuat sebuah album kompilasi. Konsepnya, album kompilasi ini berisikan band-band yang main di Grungy namun memberikan kesempatan kepada band lainnya untuk ikut serta lewat proses seleksi demo. Setelah dari sekian banyak demo yang diterima terpilihlah dua belas band yang bakal ikut serta dalam kompilasi ini. Band yang terpilih dalam kompilasi ini yaitu Jekpot, Piggish, Nicfit, Been A Son, The Siva, Cereal Fever, Torek, Zat Besi, Slum, Junk Head, Solar, Plump, dan WB. Sebagian besar memang band-band yang tampil di Grungy.
Saya sangat beruntung mendapatkan kompilasi ini justru satu dekade setelah kompilasi ini dirilis. Kompilasi Grunge Is Dead dirilis di penghujung tahun 1997 (tahun ini pun masih bisa diperdebatkan mengingat keterbatasan ingatan Ojel dan buruknya dokumentasi rilisan album lokal di mana dalam sleeve album ini tidak mencantumkan tahun rilis!). Menariknya kompilasi ini saya pikir merupakan kompilasi grunge lokal pertama di Bandung (barangkali di Indonesia) yang menjadi bukti otentik dan representatif yang memperlihatkan sebuah skena musik grunge tumbuh, besar, berkembang dan berpengaruh. Begitu berpengaruhnya, album ini anggap saja seperti album kompilasi Deep Six (C/Z Records, 1986) yang merekam jejak awal scene grunge di Seattle lewat band-band seperti Soundgarden, The Melvins, Malfunkshun, The U-Men, Skin Yard, dan Green River.
Cover album ini pun dibuat sederhana. Tidak ada foto-foto band didalamnya, tidak seperti album kompilasi lainnya yang selalu menampilkan foto-foto band pengisi kompilasi. Dalam album ini hanya bertuliskan “Grunge Is Dead: Realize-Realive The Compilation” dengan warna hitam. Dirilis dalam format kaset dan diproduksi hanya sekitar 200 kopi saja. Album kompilasi ini merupakan menjadi album kompilasi yang langka dan legendaris. Kasetnya sendiri dijual dengan harga sekitar Rp 6.000. Sayangnya, karena rekaman asli dalam bentuk pita atau DAT album ini hilang jejaknya bahkan sang produser sendiri, Otoy dan Bejo, tak memiliki master album ini sehingga album ini tidak bisa lagi diproduksi ulang. Itu yang membuat semakin langkanya mendapatkan album ini, dan contoh ini pula yang membuktikan rendahnya dokumentasi soal skena musik underground di Indonesia. Saya hanya bisa menghela nafas.
Prinsip nihilis itu pula yang melatarbelakangi pemilihan nama Grunge Is Dead. Adalah Kurt Cobain yang selalu menjadi ironis dan satir, saat dirinya menjadi seorang mega-bintang dan merupakan produk komodifikasi dirinya sendiri, ia kerap memakai kaus bertuliskan: Grunge is Dead. Atau ketika dirinya adalah sorotan media massa paling popular, ia mengkritik media massa sebagai “corporate rock magazines still suck”.
Sikap nihilis itu menjadi pengaruh kuat yang melatarbelakangi proses kreatif saat komunitas Purna justru jatuh hati terhadap grunge dan bahkan mengubah hidup mereka, tapi mereka menyampaikan sisi yang paradoks: grunge telah mati, grunge is dead. Sikap-sikap nihilis yang dianut oleh Kurt tampak menjadi pengaruh kuat bagi para pecinta mereka, termasuk sekumpulan orang di skena Purna ini. Saat pada periode itu, misal, musik punk dengan angkuh meneriakkan “Punk not dead” namun komunitas grunge justru sebaliknya. Inilah tipikal komunitas grunge Purna, mereka tak pernah peduli pada satu macam ideologi politis apapun, karena bagi mereka sikap-sikap apatis dan nihilis itulah yang mungkin menjadi pilihan politis mereka.
Lagu pertama dalam kompilasi ini dibuka oleh Jekpot dengan lagu berjudul “Irritated”. Musik rock yang kotor dan distortif (grunge banget!) mengingatkan saya akan pola-pola bermusik dari Nirvana dan TAD. Lagu kedua yaitu Piggish dengan lagunya “Hands Off”. Ada cerita menarik dibalik terpilihnya Piggish sebagai band pengisi kompilasi ini. Piggish menyisihkan Cupumanik, karena menurut panitia Piggish dianggap lebih baik meski musik mereka sama-sama kental aroma Pearl jam-nya. Uniknya, ketika Piggish sekarang menguap entah kemana, Cupumanik kini masih konsisten bermain musik bahkan beberapa waktu lalu tampil di Kanada.
Lagu ketiga dalam kompilasi ini yaitu Nicfit dengan lagu “Skulk”. Lewat lagu “Skulk”, Nicfit menyajikan musik white-noise yang solid, lewat derau yang dikeluarkan dari efek gitar feedback, berisik, distorsi, dan kotor. Nicfit merupakan favorit saya dalam album kompilasi ini. Performa yang menawan dari mereka bahkan membuat sang begawan musik David Tarigan menyebut musik Nicfit sebagai “Bandung white-noise”.
Secara keseluruhan para pengisi dalam kompilasi ini adalah epigon: Been A Son (Nirvana dan Hole), The Siva (Soundgarden dan Smashing Pumpkins), Cereal Fever (Nirvana), Torek (Nirvana), Slum (Nirvana), Junk Head (Alice In Chains), Solar (Nirvana dan sedikit eksperimentalnya Radiohead), Plump (Alice In Chains dan Nirvana), dan WB (Foo Fighters dan Nirvana). Kompilasi Grunge Is Dead merupakan kompilasi musik grunge lokal terbaik yang pernah saya dengarkan yang tepat menangkap euforia musik grunge pada zamannya.
Banyak band yang tak dimasukkan ke dalam album kompilasi ini, di antaranya Pink Pearl, Coin, dan Sugar Kane. Tidak masuknya mereka di antaranya karena keterlambatan deadline, padahal sebagian dari mereka adalah anak Purna. Selepas itu skena Purna memang tidak pernah membuat gigs musik grunge kembali. Mereka sempat membuat sebuah kompilasi yaitu Live The Session (1999) yang berisikan Nicfit, Suffrage, Koil, Blend Edges, Superdrugs, Stahn, Strike Off, Dislaw, Nought-27, Sugar Kane, dan Water Broke. Setelah itu tak ada lagi cerita baru dari mereka.
Akhir Cerita
Menjelang memasuki abad millenium, tepatnya pada tahun 2003, skena Purna pun mulai tercerai berai. Alasan paling masuk akal adalah rumah Feri yang juga basis skena Purna ini bernaung telah dijual dan akan dijadikan sebuah mall yang kini menjadi mall barang elektronik. Selain itu ketergantungan para anak muda yang nongkrong di Purna terhadap zat adiktif semakin mengkhawatirkan. Bahkan salah seorang personil WB dan Cereal Fever, Zam Zam meninggal akibat efek berkepanjangan dari zat yang satu itu.
Saya sempat heran kenapa “alumnus” dari kompilasi Grunge Is Dead ini tidak ada yang naik daun ke industri musik Indonesia saat musik alternatif berada di puncak dan hype di mana-mana. Torek sempat bakal dirilis major label, namun gagal. Saya berasumsi perilaku nihilis dalam diri di komunitas Purna, setelah ketergantungan yang amat akut terhadap narkoba, membuat banyak band-band skena Purna tidak bertahan lama, bongkar pasang personil, inkonsistensi, dan sarat konflik. Problem mental yang labil akibat narkoba adalah salah satu diantaranya. Hanya Nicfit dan Waterbroke yang bertahan, itupun mereka sangat obscure dan jarang tampil.
Meski kini tongkrongan Purna telah bubar namun individu-individu yang hidup dan merayakan kebabasannya lewat musik grunge saya pikir mereka masih tetap hidup dalam idealismenya masing-masing. Salah satu hal yang pasti kompilasi Grunge Is Dead adalah bukti dari semua cerita itu.
Sumber Artikel : http://www.jakartabeat.net/musik/kanal-musik/ulasan/item/668-grunge-is-dead-tentang-skena-grunge-bandung.html?tmpl=component&print=1